Selamat Datang Para Alumni SMU P@nbat T.A - 03 and Visitor....
Selamat Menikmati seluruh fasilitas yang tersedia di blogger ini..
Menu Blog
myspace layouts

myspace comments

Monday 5 January 2009

Resensi Film: 3 Doa 3 Cinta, Tekad bermimpi dalam Realita.

Resensi Film: 3 Doa 3 Cinta, Tekad bermimpi dalam Realita.
Ditulis oleh Dewan Asatidz

Deskripsi Film:Judul Film: 3 Do’a, 3 Cinta
Genre:Drama
Penulis dan Sutradara: Nurman Hakim
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardhoyo, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Butet Kertarajasa, dan Jajang C. Noer
Music director : Djaduk ferianto
Produksi: ifi (Investasi Film Indonesia) dan Triximages
Serentak di bioskop: 18 December 2008



Resensi Film Sekitar tahun 2000-an dalam gelap malam, disebuah surau(baca : Masjid) sebuah pondok pesantren abangan(tradisonal) bertempat di desa terpencil daerah Jogyakarta, lantang suara Romo(sebutan pemimpin/kyai dipesantren) Wahab memberikan pengajian kepada santri-santrinya. Pengajian rutin tiap malam, mengkaji kitab – kitab kuning yang diterjemahkan kedalam bahasa jawa oleh Romo kepada santri-santrinya, adapun para santri menulis terjemahan Romo tersebut dengan tulisan arab jawa di kitab kuning mereka, dan menyikma penjelasan kandungan yang terdapat dalam kitab tersebut. Dikisahkan tiga orang santri yang mempunyai mimpi dan cita – cita, yaitu; Huda (Nicholas Saputra) mempunyai impian setelah selasai mondok pesantren ingin bertemu Ummi(Ibu), setelah enam tahun lamanya Huda tidak bertemu dengan Ummi-nya, dengan berbekal surat dari Ummi-nya setahun terakhir sebagai komunikasi terakhir yang Huda terima. Rian(yoga Pratama), setelah selasai mondok pesantren bercita-cita ingin membangun kembali usaha Ayahnya yang telah tiada yaitu usaha Studio foto; dan Syahid(Yoga Bagus), anak seorang petani miskin, Syahid sendiri bercita-cita setelah selasai pondok pesantren ingin mati Syahid dengan jalan menjadi Mujahid.



Dikisahkan agenda rutin di sebuah pondok pesantren adalah mengaji, belajar, dan ibadah setiap harinya, Bilik – bilik kecil sebagai kamar para santri dengan beberapa lemari kecil yang dijadikan rak kitab-kitab dan beberapa potong pakaian, Tidur beralaskan samak atau tikar, dan nuansa kusam pemondokan tetapi bersih dan suci sebuah pondok pesantren menjadikan para santri tumbuh mandiri dan berakhlak karimah sesuai dengan tuntunan Islam. Didikan pesantren yang kental dengan nilai-nilai keislaman tetap menjaga tauhid, berpedoman pada Al-Quran dan Hadist menjadi sebuah didikan dasar untuk menempuh kehidupan yang penuh dengan godaan duniawi. Sang Romo, kyai dan penuntun yang selalu mengajarkan nilai – nilai keislaman, saling menghormati, dengan mengajarkan Islam sebagi Dien(Agama) Rahmatan lil A’lamin (Rahmat bagi seluruh alam), yang dicerminkan pula dalam memimpin pesantren, dan sebagai Imam dalam sholat. Dalam menjalankan pesantren, Romo dibantu oleh dua orang Ustadz; pertama seorang Ustadz yang mempunyai image dengan menjelaskan Islam kepada para santrinya sebagai Agama satu-satunya di muka bumi dan yang selain Islam adalah kafir, jihad adalah jalan satu-satunya untuk mencapai kejayaan Islam, berbeda dengan Romo yang selalu mengajar saling menghormati satu sama lain; Dan ustadz yang kedua adalah Ustadz yang bertanggung jawab atas dapur santri dan juga melatih beberapa santri bermain rebana, namun ustadz ini mengalami kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Yang mana diceritakan bahwa Ustadz ini melakukan pelecehan seksual kepada salah seorang santrinya. Adanya

Peraturan pesantren yang ketat dan disiplin, tidak boleh berbuat kebathilan(mencuri,berbohong,dan perbuatan dosa lainya), tidak boleh membawa alat-alat elektronik, tidak boleh merokok, dan tidak boleh keluar malam. Menjadi remaja yang tinggal pesantren tidak menyurutkan ketiga santri (Huda, Rian, dan Syahid) untuk memuaskan masa mudanya, dimana mereka bertiga mempunyai sebuah tempat dimana mereka menuliskan cita-cita dan impian mereka setiap tahunnya ditembok kusam tempat tersebut, serta menjadi tempat untuk saling berbagi satu sama lain, keluar dimalam hari menjadi kegiatan sesekali mereka membuang rasa jenuh didalam pondok. Menjadi santri tahun terakhir di pesantren, mereka bertiga bukan hanya memfokuskan pada belajar dan mengaji, tetapi merekapun memfokuskan apa yang dicita-citakan setelah lulus dari pesantren. Huda yang semakin tekad ingin bertemu dengan Ibunya dijakarta, cita-cita Huda dimuluskan jalannya saat bertemu dengan Dona Satelit(Dian Sastrowardhoyo) seorang penyanyi dangdut keliling asal Jakarta yang sedang “tour” didesa tempat Huda

pesantren, di desa ini pula tempat Dona Satelit dilahirkan dan tempat dimakamkan Almarhum Ibunya, Huda sebagai santri yang polos meminta bantuan Dona Satelit untuk mencari Ibunya dijakarta, dan Dona mengiyakan dengan syarat yaitu ada bayarannya. Adapun Rian, anak seorang yang cukup berada, berasal dari Surabaya, mempunyai cita-cita membangun usaha Almarhum ayahnya berupa Studio foto, kisahnya berawal hadiah ulang tahun dari Ibunya sebuah Handycam, dan dengan dimuluskan jalannya dengan bertemu Tukang Layar Tancep(Butet Kertarajsa), namun Rian dihadapkan dengan masalah lain yaitu Ibunya yang akan menikah lagi. Dan adapun santri yang dikisah terakhir adalah Syahid, anak seorang petani miskin yang mempunyai impian mati syahid dengan menempuh menjadi mujahid, sebenarnya alasan dari impian Syahid adalah namanya, karena namanya Syahid jadi dirinya pun harus meninggal dunia dalam keadaan syahid.

Pada saat yang bersamaan pula Ayah Syahid mengalami ganguan ginjal dan harus dioperasi. Karena membutuhkan biaya sangat besar, dengan kondisi sebagai petani miskin sangatlah berat untuk membiayai itu semua, akhirnya harapan satu-satunya adalah menjual sawah, sawah yang dijual diketahui Syahid, ternyata terjual kepada orang kafir Amerika dengan harga yang sangat rendah. Disaat itu pula Syahid bimbang akan cita-citanya menjadi mujahid karena disisi lain orang kafir Amerika itu membantu seluruh biaya operasi dan pengobatan Ayahnya.

Sekelumit kisah yang mengangkat kisah kehidupan pesantren tradisional, dimana antara mimpi, norma agama, dan realita kehidupan yang saling berbenturan, dan yang menjadi masalah yang dihadapkan kepada ketiga santri tersebut. Apakah masalah yang mereka hadapi menjadi dewasa?, lalu bagaimanakah ketiga santri ini menyelesaikan masalah-masalahnya?, dapatkah mereka bertahan dalam ujian duniawi dan realitanya yang berbenturan dengan mimpi dan ajaran Islam yang mereka dapatkan di Pesantren? Dan bagaimanakah kelanjutan kisah ketiga santri ini?.

Sebuah film yang berhasil masuk dalam nominasi film terbaik Dubai Film festival(Dubai), Nominasi Film terbaik Pusan Film Festival 2007(Korea), dan Nominasi film terbaik festival film Indonesia 2008. Selain itu pula film ini meraih penghargaan script development grant dari Global Film Initiativedi San Francisco, Amerika Serikat; Goteborg International Film Festival Funddari Swedia dan Fond Sud Cinemadari Perancis(www.3doa3cinta.com/press_release1), dan juga penghargaan Pemeran Pendukung Pria, Yoga Pratama di Festival Film Indonesia 2008. Dari rentetan penghargaan inilah menjadi film ini patut untuk ditonton oleh masyakat Indonesia, yang dimana film ini telah membuktikan sebagai salah satu film yang bukan hanya menghidangkan sebuah tontonan hiburan, melainkan pula sebagai sebuah tuntunan, seperti yang pernah dikatakan Bang Deddy Mizwar yaitu “sebuah film harus dapat menghadirkan tuntunan didalamnya, dan bukan hanya menjadi sebuah hiburan semata”(SCTV, November 2008).

Proses pendewasaan

Gambaran kehidupan sebuah Pondok Pesantren yang disajikan dalam film 3Doa 3Cinta, membuka kembali kenangan saya enam tahun silam, pada saat umur sebelas tahun saya tinggal disebuah pondok pesantren, meskipun hanya tiga tahun tapi pengalaman itu masih berbekas dalam benak ini. Karakter sang Romo sebagai Pondok Pesantren dimana tempat saya menjadi pesantren dulu, dimana seluruh dedikasi beliau yang pernah saya terima baik langsung atau tidak, tak pernah sanggup tuk dilupakan. Pelajaran toleransi antar umat keberagamaan, kebersamaan, dan ibadah ritual baik wajib ataupun sunnah selalu beliau contohkan didepan para santrinya. Indahnya suasana pesantren yang pernah saya rasakan, dan benar-benar menjadikan sebuah proses pendewasaan yang menjadi bekal setelah saya menghadapi kehidupan yang sekarang ini.

Memang tak semua ada yang di film ‘3Doa 3Cinta’ aku alami, tak pernah ada pelajaran tentang jihad, tetapi tidak bisa dipungkiri dibeberapa pesantren mungkin diajarkan tentang jihad. Banyak interpretasi tentang jihad, mungkin kedengaran sangat konyol bila jihad diinterpretasikan dengan berani mengorbankan diri melawan kaum kafir. Jihad dapat diinterpretasikan dengan berbagai bentuk positif, sebagai contoh, menuntut ilmu adalah salah satu bentuk jihad, dan apabila meninggal dalam menuntut ilmu, dalam hadist dijanjikan InsyaAllah surga.

Dan juga Ustadz yang kelainan seksual tak pernah saya alami hal demikian, tetapi tidak bisa dipungkiri, pada saat saya pesantren ada seorang teman yang mempunyai kelainan seksual. Memang hal seperti ini tidak bisa diwajarkan baik dalam norma sosial dan juga agama, dan hal seperti ini pula dapat mengganggu psikologis korban pelaku pelecehan seksual. Tetapi hal ini kenapa terjadi?, banyak factor tentunya, mungkin salah satunya adalah pelampisan nafsu, ketika seseorang tak dapat mengkontrol nafsunya. Yang jelas kelainan seksual adalah sesuatu hal yang dilaknat oleh Allah SWT.

Pendidikan pesantren membangun jati diri setiap insan dalam menjawab tantangan zaman, bukan hanya itu, pendidikan pesantrenpun seharusnya mampu membangun zaman dengan ruh keislaman, dengan berpedoman pada Alquran dan Alhadist, menunjukan Islam sebagai Rahmatan lil A’lamin(Rahmat bagi seluruh alam). Jebolan(baca:lulusan) pesantren dizaman sekarang bukan hanya mampu membaca kitab kuning, melainkan juga mampu membaca kemajuan dunia baik dalam literasi, teknologi, dan sains, yang diharapkan sebagai penyeimbang antara keduniawian dan akhirat, Karena jebolan pesantren ditanamkan segala sesuatu apa yang akan dikerjakan atau dipikirkan diawali dengan Bismillah dengan mengaharap ridha Allah SWT. Meskipun yang digambarkan dalam film tersebut adalah pesantren abangan atau tradisonal, kumuh, dan sebagainya, tetapi hal tersebut adalah sebuah proses panjang menjadi dewasa, mandiri, dan juga bersikap sesuai dengan tuntunan Islam, karena ini adalah salah satu bentuk cerminan pesantren yang ada di Indonesia.

Apa yang dikisahkan oleh Huda dengan kedua orang temannya dalam film ini, adalah salah satu bentuk cerminan santri atau pelajar dalam menghadapi tantangan zaman. Ketika mimpi dan cita-cita mereka harus berbenturan dengan kenyataan hidup yang tidak mudah, dan selalu mengoyahkan apa yang diimpikan dan dicita-citakannya. Begitu pula ketika menjalankan impian dan cita tersebut dengan bentuk ikhtiar(usaha) yang terus mereka lakukan, selalu akan ada godaan yang menggoyahkan itu semua, tetapi dengan keteguhan hati, istiqomah(konsisten), dan do’a yang selalu mengiri usaha mereka dalam memperoleh cita-cita dan impian.

Kehidupan pesantren yang penuh warna persahabatan, cinta, ibadah, dan nilai kemanusian seperti yang digambarkan dalam film ini, mengungkapkan sungguh indah kehidupan di pesantren itu. Persahabatan menjadi sebuah nilai yang dimana kita mengenal manusia satu dan manusia lainnya (person to person) lebih dekat, terjadinya hubungan interpersonal, terjadinya hubungan interpersonal yang satu sama lainnya saling mengenal, memahami, dan membentuk ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk implementasi anugerah yang satu sama lainnya sling mengenal, memahami, dan membentuk ukhuwah(ikatan) persaudaraan. Warna cinta adalah bentuk anugerah yang Allah berikan kepada manusia, yang menjadikan adanya rasa sayang, saling memberi dan menerima, antar sesama manusia. Warna ibadah adalah warna yang dimana kita mengakui kita adalah makhluk Sang Khalik, ibadah adalah rasa syukur kita sebagai manusia yang telah diciptakan dengan kesempurnaan, tanpa ibadah kita akan disebut sebagai makhluk yang sombong, dan mengingkari nikmat utama yang telah Allah berikan yaitu diciptakan dimuka bumi ini. Dan warna nilai-nilai kemanuasian adalah bentuk implementasi dari semua warna kehidupan, nilai kemanusian adalah cerminan manusia sebagai makhluk yang memiliki persahabatan, cinta, dan mengakui Tuhannya. Dalam Islam sendiri diajarkan bukan hanya habluminallah(hubungan dengan Allah), melainkan juga habluminannas(hubungan dengan manusia), saling memberi, menghormati, menghargai, dan tolong-menolong adalah nilai-nilai kemanunisiaan yang membentuk persahabatan dan perdamaian diatas muka bumi ini.

Nurman Hakim sungguh apik dalam mengemas film 3Do’a, 3 Cinta, sebagai penulis dan sutradara, Nurman mengangkat realita yang pernah dialaminya. Bekal pengalaman merasakan sebagai santri yang pernah dilalui Nurman dan kegelisahan akan fenomena dikotomi islam terutama pesantren menjadi bekal Nurman menulis dan menggarap film ini,(www.21cineplex.com). Lanjut Nurman, ”Saya mau berbicara tentang dunia pesantren di Indonesia yang penuh cinta dan kedamaian. Di sini saya mencoba ingin menepis anggapan bahwa pesantren itu tempatnya orang-orang yang radikal, dalam film ini ini kita dapat melihat potret kehidupan di pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah, dan nilai kemanusiaan. Selanjutnya, film yang bercerita tentang proses pendewasaan atau coming of age santri yang dididik secara Islam dalam memahami kehidupan diluar pesantren”(www.3doa3cinta.com/pressrelease_1). Inilah sebuah film yang akan kita dapat memahami arti dari menjadi dewasa, bukan hanya dalam fisik, tetapi juga hati dan pekiran yang menjadi lebih bijak. Dan film inipun memberikan kita arti dari kehidupan beragama, meskipun latar dari film ini adalah kehidupan pesantren, tetapi film ini memberikan kesan kepada kita bahwasannya semua agama itu mengajarkan kebaikan, seperti yang disampaikan dalam film Kingdom of Heaveni, “tidak ada permusuhan dan peperangan yang mengatasnamakan Tuhan”, karena semua agama mengajarkan kasih sayang dan perdamaian. Jadi, silahkan tonton film buatan anak bangsa ini, dan ambil manfaatnya dari film ini, serta stop pembajakan. Waallahu A’lam.

* penulis adalah Mahasiswa FIKOM UNISBA angkatan 2006