Selamat Datang Para Alumni SMU P@nbat T.A - 03 and Visitor....
Selamat Menikmati seluruh fasilitas yang tersedia di blogger ini..
Menu Blog
myspace layouts

myspace comments

Saturday 31 January 2009

Jihad Kemanusiaan untuk Palestina

Jihad Kemanusiaan untuk Palestina
Oleh: Oleh Ali Usman

”Benturan, ledakan, mereka yang jatuh menukik perlahan-lahan —semua itu, sunguh bukan lagi Hollywood, tapi realitas mengerikan yang benar-benar terjadi secara harfiah di depan mata publik dunia”.
—(Borradori, 2004)

SUNGGUH miris menyaksikan kebrutalan tentara Israel dalam melakukan serangan udara terhadap masyarakat Palestina, selama dua pekan terakhir ini, meskipun mereka mengklaim bahwa target utama dari pembantaian itu adalah para pejuang Hamas.

Namun tetap saja yang menjadi korban adalah warga Palestina yang tak berdosa, terutama anak-anak dan kaum perempuan. Sampai kemarin, aksi brutal militer negara Zionis itu telah menewaskan sekitar 650 orang (separo diantaranya anak-anak), dan mencederai lebih dari 3.000 orang.

Tidak puas dengan gempuran udara dan blokade laut yang terus dilancarkannya, Israel juga telah melakukan serangan darat terbuka. Wakil Menteri Pertahanan Israel Matan Vilnai memperingatkan, operasi tersebut akan berlangsung berminggu-minggu. D

ia menyebut aksi negerinya sebagai ”serbuan paling mematikan”, sejak kelompok pejuang Hamas menguasai wilayah itu pada pertengahan Juni 2008.

Atas tragedi kemanusiaan itu, kini dunia berduka. Banyak negara mengutuk pembantaian keji yang dilakukan Israel. Namun tetap saja tak berdaya. Seruan damai dari pemimpin negara-negara muslim, bahkan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon, bagai teriakan di ruang kosong. Dewan Keamanan PBB pun seperti macan ompong dalam menjaga perdamaiann dunia.

Bagaimana sikap Indonesia? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutuk sekaligus menyayangkan tragedi pelanggaran HAM kembali terulang di Bumi Palestina. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh protes berbagai lapisan masyarakat, baik perorangan maupun kelompok-kelompok yang mengatasnamakan solidaritas untuk Palestina.

Tak tanggung-tanggung, sebagian kelompok tertentu yang cenderung ”ekstrim” berniat mengirim sejumlah orang untuk ikut membantu dalam membebaskan Palestina dari serangan Israel.

Sikap terakhir itulah yang menurut saya sangatlah berlebihan. Karena itu, saya setuju dengan langkah pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda, yang meminta semua kelompok yang ingin memberikan dukungan dan solidaritas terhadap warga Palestina menyalurkannya melalui bantuan kemanusiaan kepada para korban (Suara Merdeka, 31/12/2008).

Langkah Pemerintah Indonesia itu merupakan sebuah keputusan yang bijak dan benar, ketimbang harus mengirimkan relawan untuk ikut bertempur di Palestina. Sebab, jika itu terjadi, bukannya menyelesaikan masalah, justru memperuncing bahkan memperlebar peta konflik antara Israel dan Indonesia, karena sikap keberpihakan pemerintah kita terhadap Palestina.

Jadi, usaha pemerintah untuk menggalang bantuan sosial dapat dikategorikan sebagai jihad itu sendiri. Namun jihad yang dimaksud bukan dalam pengertian tekstual, yang berarti peperangan fisik. Jihad yang diprakarsai pemerintah dalam istilah saya adalah ”jihad kemanusiaan”. Ini sesuai dengan asal katanya, yaitu jahada yang berarti usaha sungguh-sungguh dan sekuat tenaga untuk malakukan sesuatu (Ibnu Manshur).

Jihad kemanusiaan tidak didasarkan oleh dorongan doktrin agama yang mengharuskan pemeluknya cenderung bertindak gegabah, mengedepankan otot daripada pertimbangan akal yang matang. Jihad kemanusiaan lebih didorong oleh kepentingan rasa empati antarsesama makhluk Tuhan.

Apakah kemudian peran agama ditiadakan? Tidak! Justru lewat jalan itu, spirit dan misi agama benar-benar tampak berjiwa emansipatoris, yang selalu siap kapan saja mendukung misi kemanusiaan.

Konflik Agama?

Semua orang tahu, konflik antara Palestina dan Israel memang sudah berlangsung sangat lama, dalam kecamuk perang yang sangat kejam. Tetapi, apakah konflik keduanya dapat dikatakan sebagai perang antaragama? Amat sulit menjawabnya. Awalnya mungkin ya, dipicu oleh faktor agama. Tetapi selang beberapa waktu lama, konflik keduanya menurut saya tidak lagi murni demi mempertahankan agama masing-masing.

Konflik Israel-Palestina saat ini lebih tepat jika disebut sebagai konflik memperebutkan teritorial yang dibalut dengan kepentingan politik. Penguasaan dan usaha untuk menghegemoni secara politik jauh lebih kental daripada nuansa agama.

Sebab, konflik antaragama adalah konflik yang terjadi antara dua atau lebih agama yang saling berhadapan dan terang-terangan menyatakan saling bermusuhan. Pihak yang berkonflik bisa berasal dari berbagai negara atau daerah, tetapi mereka memeluk agama yang sama dan bertujuan menegakkan agamanya.

Konflik semacam itu terjadi pada Perang Salib antara Kristen dan Islam, yang menurut Phillip K Hitti dalam The History of Arab terbagi menjadi tiga periode. Pertama adalah Periode Penaklukan (1096-1144), ketika Paus Urbanus II terus membangkitkan semangat kaum Kristen untuk bersiap melaksanakan penyerbuan. Mereka menaklukkan Anatolia Selatan, Tarsus, Antiokia, Aleppo, dan Edessa. Tentara Salib menggunakan baju gambar salib sebagai lambang agama Kristen.

Kedua adalah Periode Reaksi Umat Islam (1144-1192). Kaum muslimin mulai sadar dan menghimpun kekuatannya guna menghadapi pasukan Salib. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Zangi, Nuruddin Zangi, dan Shalahuddin al-Ayyubi, kaum muslim berhasil merebut wilayah yang sebelumnya dikuasai pasukan Salib. Misalnya Edesse, Aleppo, Damaskus, Antiokia, dan Mesir.

Selanjutnya periode ketiga atau lebih dikenal perang saudara adalah Periode Kehancuran dalam Perang Salib (1193-1291). Tentara salib mulai terpecah belah akibat ambisi kekuasaan dari tiap kelompok.

Maka teranglah bahwa konflik Israel-Palestina bukan perang antaragama. Baik Palestina maupun Israel menganut agama yang tidak tunggal. Menurut data tahun 2007, Palestina didiami oleh 40 persen penduduk beragama Kristen, dan sekitar 1,3 persen beragama lain —termasuk Yahudi.

Sedangkan di Israel terdapat sekitar 15 persen muslium dan dua persen orang Kristen. Artinya, tidak tepat jika mengatakan konflik ini adalah konflik antaragama, sehingga umat suatu agama merasa menjadi korban dan tertantang untuk membalas. Dengan demikian, mari kita senandungkan satu kata: sudahi perang, perdamaian jauh lebih indah! Semoga. (32